Kamis, 21 Oktober 2010

Hiduplah Detik ini Juga

Apa yang membuat kita takut saat ini? Mungkin karena kita tidak berada pada detik ini. Kita masih hidup di masa lalu. Ya, kebanyakan dari kita hidup di masa lalu. Kegagalan demi kegagalan yang pernah kita alami, membuat kita terperangkap di masa itu. Apa yang bisa aku lakukan? Seharusnya aku begini dulu, seharusnya hal itu tidak terjadi, seharusnya dan seharusnya. Ingin sekali memperbaiki seandainya bisa. Bisakah kita kembali ke masa itu dan mencegah hal yang tak kita inginkan terjadi? Enaknya...

 Atau kita tidak berada pada detik ini karena kita mengkhawatirkan masa depan? Gamang... Mungkinkah aku bisa begini? Kalau aku melakukan ini, bisakah hasilnya seperti ini? Kita jadi takut melangkah. Akhirnya malah tak berbuat apa-apa. Maka hiduplah detik ini juga dengan berbuat yang terbaik.

 Itu yang aku pahami tentang sebuah tema suatu acara yang aku lihat di televisi belakangan ini. Kalau dihubungkan dengan pengalamanku berinteraksi dengan banyak orang, ada pelajaran berharga yang aku peroleh. Tentang rasa, tentang hati. Maklum, baru menghadapi dunia nyata alias masyarakat dan baru menyadari semestinya kedewasaan tumbuh dan berkembang seiring bertambahnya usia. Meskipun kata orang ’tua itu pasti dan dewasa itu pilihan’, tetap saja jika usia sudah makin besar angkanya dianggap sudah dewasa dan harus bertindak layaknya orang dewasa, padahal secara emosinal belum matang. Berbagai benturan-benturan yang dialami semisal  ketidakcocokan sikap antarmanusia kadang membuat hati menjadi terluka. Lukanya membuat kita tak mampu memandang secara adil terhadap si pembuat luka. Kebaikannya yang kita dengarpun akhirnya tertutup satu noktah perilakunya yang kita anggap salah. Semakin mendengarnya, semakin illfeel rasanya.

 Akhirnya, saat kita berhadapan dengan orang tersebut, mungkin karena tak ingin mendapat luka lagi, kita membuat benteng pertahanan untuk diri kita. Caranya adalah dengan menyerang lebih dulu entah dengan bersikap dingin atau tidak peduli. Ya, itu karena kita ingat masa lalu tadi yang berarti kita masih hidup dan terjebak di masa lalu. Semestinya kita hidup detik ini juga. Itu kan masa lalu, sekarang ya sekarang. Saat kita beraktivitas bersama orang itu, sadarilah keberadaan kita di detik saat ini. Dengan menyadari keberadaan kita di detik ini, semestinya kita bisa lebih obyektif. Tak adalah yang sempurna karena kita diciptakan untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan dalam rangka menjadi pemimpin di muka bumi. Minimal memimpin diri sendiri menuju keselamatan dunia akhirat, dengan membaguskan kualitas diri. Tapi bukan berarti kita tidak mengambil pelajaran dari masa lalu. Jika kita tidak suka diperlakukan dzalim, hendaknya kita tidak berbuat seperti itu pada orang lain.

 Toh kitapun pernah melukai orang lain, baik kita ketahui atau tidak. Mungkin kita merasa baik, tapi ternyata orang lain tidak menyukainya, tapi ternyata masih ada saja yang merasa terlukai. Gagalkah kita? Iya, begitulah.

Lebih dari 9000 tembakan meleset dalam karirku. 26 kali aku dipercaya untuk melakukan lemparan kemenangan, dan meleset. Aku gagal, gagal, dan gagal lagi dalam hidupku. Dan karena itulah aku sukses. –Michael Jordan-

2 komentar: