Sabtu, 15 Maret 2008

Dasar Dyah

                                TKP (tapi sekarang udh g bisa lewat situ lagi, hik)

Sudah lama tidak mengisi blog. Sore ini (10 Maret 2008) anak BPM janjian ngumpul di kampus ba’da ashar, tapi bukan suro’ Lho, murni kumpul-kumpul nempelin styrofoam mading yang copot. Abis kuliah aku ke Bank Mandiri depan Fisip, kemudian memutuskan berangkat ke kampus bersama Dyah. Kos tersebut letaknya adalah di salah satu gang Jalan A. Djaelani. Setiba di kosan Dyah waktu menunjukkan pukul tiga sore. Setelah shalat berjamaah kami berangkat ke kampus.

”Mba, lewat jalan pintas yuk”

”Boleh”

”Tapi ini beda lho Mba”

”Okeh-okeh”

Kemudian Dyah menjadi pemandu jalan, mula-mula menyebrang menuju gang sempit di seberang gang kosannya, berkelok dua kali, turun satu kali dan kami tiba di belakang kampus EDP. ’Oh, ini sih biasa’ pikirku.

Kami menyebrang sungai kecil di belakang kampus EDP tadi tapi tidak berjalan ke arah depan kampus EDP yang biasa dilalui anak-anak (termasuk aku) melainkan berbelok menuju tembok pembatas setinggi tiga meter antara kampus EDP dengan kampus Peternakan. Tembok itu memanjang dari depan kampus Peternakan dan berakhir pada penghabisan tanah (aku sih menyebutnya jurang meski cuma dua meter tingginya).

Tembok pembatas itu memiliki pintu besi yang terlihat tertutup. ’Oh, ada pintu tho’ pikirku, tapi Dyah tidak menuju pintu besi tadi melainkan ke ujung tembok pembatas dan tanpa ba’-bi’-bu’ ia melangkahi tembok sambil memegang teralis besi berbentuk wajik yang menempel pada tembok tersebut agar tidak jatuh. Aku mendadak planga-plongo melihat aksinya itu.

”DYAH!!”

”Ayo Mba” ajaknya cuek di balik tembok pembatas.

Aku tersenyum dan kemudian tertawa geli, senang bukan kepalang. Saat itu aku memang butuh hiburan berupa tantangan fisik.Banyak tugas (bete belum bisa ke tempat mbah, sumpah kangen banget). Kemudian aku mengikuti aksinya.

”Jangan dipegang!” Teriakku galak ketika Dyah mencoba menolongku menyebrang.

”Oh, iya Mba” jawabnya tertawa.

Akhirnya kami berdua sudah berada di Fakultas Peternakan, melewati pintu samping dan tiba di Kampus MIPA.

”Dyah, gile bener tadi. Kok nggak bilang-bilang?” Tanyaku sambil tersenyum-senyum senang.

”Yaa Mba, kalo bilang malah gak mau, mikir-mikir dulu.”

”Iya sih.”

”Mba, pulangnya lewat Biologi Yuk.”

”Muter jalan-jalan dulu?”

”Hehe.”

Jam lima acara kumpul selesai. Oh iya aku memotret Yeni tampak belakang (tapi Yeninya gak tau), mumpung megang kamera pinjeman. Teruz aku dan Dyah melanjutkan outbond (^^!), kami tidak jadi mengitari Fakultas Biologi tetapi jalan-jalan di tengah sawah belakang Fakultas Pertanian. Subhanallah lah pemandangannya, bikin damai dan sepatu kotor, hee...

 

Summer Day

Sweet Summer

I’ve left my summer day

It was sweet and warm

It must be still

Stayed with my summer had been the dream

But that shouldn’t

My summer was only a summer

As time goes by,

Its warmest could be burning if I keep standing shined

So, bye my summer

My world can’t accept your season

Hope your turn in the several years ahead

When The God permit me to get my summer

It will

mirai dake shinjiteru ….



behind the scene : nemu waktu buka - buka diary. Mei 2005

Sabtu, 01 Maret 2008

Soal Kredibilitas dan Kepercayaan

“Lebih murah, gak percaya? Itung aja ndiri.” Begitulah kira-kira pernyataan salah seorang artis yang berperan sebagai IRT dalam iklan layanan masyarakat konversi minyak tanah ke gas elpiji. Satu tabung gas elpiji ukuran mini Rp.35.000,00, rata-rata dapat digunakan setengah bulan atau 14 hari. Sementara bila menggunakan minyak tanah perhari harganya Rp.2.800,00 maka dalam setengah bulan akan menghabiskan biaya Rp.39.200,00. Memang secara hitungan gas elpiji lebih murah ketimbang minyak tanah. Namun beberapa faktor perlu diperhatikan. Warga menengah ke bawah yang terbiasa dengan kompor minyak bukanlah pembeli borongan sebagaimana warga kelas atas yang memenuhi kebutuhan harian dengan belanja bulanan di mall. Mereka membeli bahan bakar minyak tersebut hanya saat membutuhkan dan tersedia uang cukup saja pada hari itu juga, kecuali jika gas elpiji dapat dibeli eceran perliter Rp.2.500,00 sebagaimana minyak tanah. Selanjutnya adalah kekhawatiran masyarakat tersebut akan bahaya meledaknya kompor gas. Meskipun hal ini agaknya berlebihan, mengingat pengetahuan yang cukup akan penggunaan dan perawatan kompor gas dapat mencegah kemungkinan tersebut, terbukti dengan tidak setiap hari tersiar kabar di televisi tentang kebakaran akibat meledaknya kompor gas.

Selain itu yang terpenting adalah soal kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara program (pemerintah) terkait masalah pendistribusian yang kurang merata serta berbagai penyelewengan sejumlah oknum yang memanfaatkan program semacam ini. Yang terakhir ini memang merupakan penyakit akut (tolong jangan disebut sebagai budaya) Bangsa Indonesia. Jika janji yang diberikan melalui kampanye konversi minyak tanah ke gas elpiji tidak sesuai kenyataan di lapangan, tentu untuk program berikutnya masyarakat tak akan peduli dan percaya lagi dengan pemerintahannya. Saling menyalahkan dan mengeluh tak akan menyelesaikan problem di negeri tercinta ini sehingga solusi adalah hal yang terbaik. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari segala peristiwa. Konversi minyak tanah ke gas elpiji tentunya didasari atas tujuan mulia penghematan bahan bakar minyak bumi. Sebagaimana diketahui cadangan minyak dunia sedang dalam masa krisis, ditambah lagi dengan isu pemanasan global dimana penyebabnya adalah gas CO2 yang mulai tak terkontrol jumlahnya. Gas CO2 yang merupakan hasil samping pembakaran sempurna dari bahan bakar minyak ini sangat mudah memutus ikatan O3 (ozon) menjadi O2 sehingga lubang ozon makin parah. Itulah mengapa konversi minyak tanah ke gas elpiji hakikatnya baik.

Namun tak dapat dipungkiri bahwa sebuah perubahan selalu menuai pro dan kontra. Kalangan awam merupakan bagian yang sulit dalam menerima perubahan. Sulitnya masyarakat menerima perubahan adalah kurangnya informasi yang mereka terima tentang keuntungan yang akan diperoleh. Karena sesuatu yang bisa diterima adalah sesuatu yang menguntungkan, itulah kenyataannya. Bila suatu perubahan ingin diterima oleh masyarakat, misalnya konversi minyak tanah ke gas elpiji, yang terbaik adalah penyebaran isu berupa pewacanaan di berbagai media secara kontinyu berkaitan dengan bahan bakar minyak yang kian menipis serta gas elpiji yang manfaatnya sungguh menjanjikan di masa depan atau hal-hal semacam itu. Tentu saja disampaikan dengan bahasa masyarakat awam. Setelah pewacanaan barulah kampanye melalui iklan layanan masyarakat sebagaimana yang telah dilakukan saat ini, serta tindakan yang sesuai isi iklan tersebut. Kalau dinyatakan harga gas bisa lebih murah ya harus tetap lebih murah sampai kapan juga. Selain itu kurang meratanya distribusi dan berbagai penyelewengan yang terjadi membuktikan penyelenggara program setengah hati menjalankan tugas. Menimbulkan kesan bahwa pelaksanaan program ini sebagai pengguguran kewajiban atas program kerja yang harus dituntaskan. Bagaimana dengan program berikutnya jika rakyat saja sudah apatis akibat tidak percaya lagi dengan pemerintahannya.