Minggu, 06 Mei 2012

Every Soul Shall Taste Death

Malam yang hening, tentu di malam hening kita bisa mendengarkan diri kita lebih khusyu'. Setelah seharian lelah beraktivitas, ditambah dengan pusing yang tidak bisa berkompromi, aku memutuskan tidur ba'da Isya. Terbangun pada beberapa jam kemudian, kulihat aktivitas malam yang dilakukan orang-orang rumah. Saudara-saudaraku yang menonton tayangan bola sambil sesekali saling berteriak (dalam arti berbicara yang kelewat antusias), bapak yang bekerja menatap layar komputer, dan ibu yang tengah menyetrika baju.

Tentu, kadang aku coba menyelami bagaimana perasaan orang-orang terdekatku. Aku bukan pembaca perasaan dan pikiran orang, mungkin semacam prasangkaku saja (yang kunilai sebagai prasangka baik). Sesungguhnya, ini adalah caraku menatap diriku sendiri dalam cermin. Kali ini Ibuku. Yang aku rasakan adalah, saat menyetrika, Ibu tengah mensyukuri apa yang ia dapat sampai saat ini. Bagaimana ia melewati masa kecilnya, remaja, dewasa, berkeluarga, hingga lahir anak-anaknya. Ia heran, anak-anaknya yang dulu masih kecil-kecil kini ia lihat sudah tumbuh besar. Setelah menyelami dirinya, aku kemudian melihat ke dalam diri sendiri.

Setiap orang akan terus tumbuh sampai batas waktunya. Aku hidup saat ini. Bukan kemarin, sejam atau semenit yang lalu. Bagaimana dengan besok? Aku teringat satu kata 'mati'. Seketika aku disergap ketakutan dan was-was, menahan tangisan. Kita pasti akan melewatinya. Ya, semua dari kita. Tapi, akan berakhir seperti apa? Itu lebih mengerikan ketimbang mati itu sendiri. Kadang, aku berpikir 'seandainya' mati adalah sebuah akhir, tentu aku lebih memilihnya secepat mungkin. Sayangnya, ia adalah awal. Awal dari kebahagiaan atau kesengsaraan abadi. Betul sekali, dengan demikian, memang mati adalah nasehat paling TOP hanya bagi orang-orang yang memercayai kehidupan setelah kematian. Mengapa hanya bagi mereka? Karena banyak juga orang-orang yang tidak takut terhadap nasehat itu, bahkan menjadikannya bahan lelucon. Orang yang menjadikan nasehat kematian sebagai lelucon, ia tertawa terbahak bersama sejumlah orang, padahal malaikat maut tengah mengintainya. Ia pasti datang, tepat waktu dan tak dapat diingkari.

Kita begitu lemah bahkan untuk melawan diri sendiri. Inginnya kita peroleh pilihan pertama, namun pikir, rasa, kata, dan laku kita tidak seutuhnya mengarah ke sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar