Kamis, 07 Juni 2012

Nasehat Tiga Guru

1. Segenggam Garam

Nasehat ini diberikan oleh teteh ideologis saya periode awal kuliah di Purwokerto. Usai melingkar, beliau memberikan selembar tulisan (yang saya lupa judulnya, namun kisahnya saya ingat). Tulisan itu berisi kisah seorang pemuda yang hidupnya dirasa sungguh malang. Pemuda ini datang kepada seorang tua bijak. Ia ceritakan seluruh kepedihan hidupnya. Lalu orang tua bijak ini (kakek) menyuruh pemuda membawa toples garam dan segelas air yang ada di dapur rumah kakek tersebut. "ikutlah ke danau bersamaku" kata si kakek.
"ambil segenggam garam dari toples, lalu tabur ke dalam gelas" Kakek menginstruksikan.
"aduk dan minum air itu"
Si pemuda menurut saja, "huekk, asiiinnnn!!!" teriak si pemuda sambil terbatuk-batuk.
Sang kakek tersenyum dan menyuruh pemuda ini mengambil lagi segenggam garam dari toples,"taburkan ke air danau ini."

Si pemuda menaburkan garam ke danau jernih di hadapannya. "minumlah air dari danaunya"
Begitu si pemuda meminum air danau, ia bergumam "segar!" kemudian ia ulangi meminum air danau jernih itu.
"Nak, setiap manusia memiliki jatah masalahnya sendiri. Takarannya tidak lebih dari segenggam garam. Tinggal bagaimana engkau menyediakan hatimu sebagai wadah untuk mengolahnya. Jika hatimu sesempit gelas ini, tentulah segenggam garam terasa asin. Maka, lapangkanlah ia seluas danau jernih ini. Setoples garam pun takkan mengubah rasa segarnya. Bahkan kita tidak tahu, mungkin di dalam danau ini banyak bangkai ikan? Itu tidak mengurangi kejernihan dan kesegarannya."

2. Keluhan

Pesan ini saya dapat dari Mbak ideologis yang paling lama membimbing saya saat kuliah. Maka, curhat sampai menangis tak segan lagi saya lakukan dihadapannya. Saat memperoleh tanggung jawab dalam sebuah organisasi, tentu silih berganti permasalahan dihadapi.

Pada titik saya tidak sanggup menyelesaikannya, saat itu pulalah tumpah semuanya. Namun, beliau tetap cool menghadapi saya, tanpa solusi. Sebagai gantinya, ia menceritakan sepenggal kisah Hasan Al Banna. "Dek, dulu murid Al Banna mengunjunginya hendak menceritakan kesibukan dan kesusahan hidupnya (demi menghindari amanah dakwah). 'Penglihatan' tajam sang guru membuat sang guru berinisiatif menceritakan terlebih dahulu segala kesibukan dan problem hidupnya tanpa nada mengeluh sama sekali. Usai bercerita, sang guru bertanya, 'engkau hendak mengeluhkan apa?' tentu si murid menjadi malu mengetahui ia lebih baik kondisinya ketimbang sang guru, namun sang guru tiada berkeluh kesah dan tetap menjalankan kewajibannya. Akhirnya, si murid mengurungkan niatnya, menerima amanah yang diberikan kepadanya, dan pulang dengan hati lega." Pada akhir kisah, saya ikutan lega.

3. Manajemen Diri

"Waktu tidak perlu di-menej, dia kan udah pas, sehari 24 jam. Yang perlu di-menej mah diri kita ini, bagaimana menyesuaikan dengan waktu yang segitu-gitunya." Such a short wise words. Pesan dari teteh ideologis saya yang sekarang. Terngianglah atsar terkenal itu, 'kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia'

Demikianlah, nasehat dari tiga guru yang saya ingat malam ini. Terima kasih untuk semua guru saya yang lalu, yang sekarang, maupun yang akan datang. =)

8 komentar:

  1. ***manggut2.. nggih bu guruu.. *loh.. hehe

    BalasHapus
  2. baru denger istilah teteh ideologis =)
    deshta... miss u

    BalasHapus
  3. krn ada teteh biologis tho? saudara seibu. kl ini saudara seideologi alias seakidah_Islam_(aq juga kenal istilah ini dari salah seorang Mpers)

    miss u too, miftah hpku ilang, minta sms tausyiah k no. baruku y, q kirim lewat PM, jzkillah =D

    BalasHapus