Semoga Allah Ta’ala ampuni saya.
Baguskan niat dan perbaiki terus-menerus. Selama perjalanan menuju pernikahan, tidak ada bekal yang lebih penting untuk engkau persiapkan melebihi niat dan ‘ilmu. Keduanya saling berkait. Niat akan menentukan nilai dari pernikahan yang akan engkau jalani, bahkan dari pernikahan yang mungkin tidak sempat engkau jalani karena kematian datang lebih cepat daripada pernikahan. Tetapi niatmu yang lurus dan kesediaanmu untuk berbenah mempersiapkan diri menunaikan sunnah Nabi saw. berupa menikah, akan menentukan apa yang akan engkau dapatkan dari Tuhanmu, Allah ‘Azza wa Jalla yang tiada sekutu baginya. Dan tidaklah engkau dapat menata niat dan membaguskan tujuan dengan benar kecuali dengan memahami ilmunya. Ilmu juga sangat penting bagi keberlangsungan pernikahan. Sebaik apa pun niatmu dalam menikah, engkau memerlukan ilmu untuk memasukinya, menjalani dan merawatnya.
Maka, tidak ada yang lebih mendesak untuk aku pesankan kepadamu melebihi niat dan ‘ilmu. Semakin jauh mengarungi pernikahan serta semakin banyak belajar, semakin terasa pula betapa kurangnya bekal yang ada pada diri ini sebelum memasuki pernikahan. Tampaknya sepele, tapi niat amat sering terabaikan sehingga tidak tertata dengan baik. Sangat berbeda antara apa yang kita ucapkan dengan apa yang sungguh-sungguh mendasari dan menggerakkan kita untuk menikah.
Sesungguhnya, sebaik-baik perkataan adalah kalamuLlah, yakni Al-Qur’anul Karim. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Tidalah Muhammad saw. berbicara kecuali dengan bimbingan dan pengawasan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, Muhammad saw. adalah manusia yang terjaga (ma’shum) sehingga tak akan bertentangan antara perintah dengan tindakannya. Tak ada perintah Allah Ta’ala yang datang kepadanya kecuali beliau shallaLlahu ‘alahi wa sallam laksanakan dengan penuh kesungguhan.
Jika engkau mengingini pernikahan yang penuh barakah, maka ikuti petunjuk manusia yang paling baik petunjuknya, yakni Muhammad Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan apa yang mendatangkan barakah, apa pula yang menjadikan pernikahan sangat besar barakahnya. Mari kita ingat sabda Nabi saw., “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan)." (HR. Al-Hakim).
Perhatikan olehmu: yang paling mudah maharnya. Maka sederhanakanlah olehmu mahar. Perhatikan juga sabda Nabi saw. yang menjadi penegas betapa sederhananya mahar merupakan salah satu bentuk keutamaan. Sabda Nabi saw., “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (maharnya).”(HR. Abu Dawud).
Hadis ini menunjukkan dengan sangat jelas kepada kita tentang keutamaan meringankan mahar. Maka janganlah engkau memberat-beratkan diri dengan perkataan sebagian orang yang berkata bahwa Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam memberikan mahar kepada isterinya dalam jumlah yang amat fantastis. Sebuah tulisan di majalah Islam yang membuat saya merasa sangat sedih bahkan dengan berani berkata bahwa Nabi saw. memberikan mahar senilai 3 milyar rupiah. Ini adalah perkataan yang dapat menyebabkan fitah syubhat dan sekaligus fitnah syahwat; dua sebab kerusakan agama yang amat serius akibatnya bagi iman.
Bersebab halusinasi bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam memberikan mahar hingga milyaran rupiah nilainya, seorang akhwat bahkan bersungut-sungut menolak bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam adalah penggembala. Padahal riwayat yang menunjukkan setiap nabi pernah menjadi penggembala adalah shahih. Mereka demikian terpukau dengan ucapan sebagian manusia yang mengatakan bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai menjalankan bisnis di usia 8 tahun. Padahal inilah usia ketika Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berpindah pengasuhan dari kakeknya, Abdul Muthalib, kepada pamannya: Abu Thalib.
Kembali ke soal nikah. Ingatlah nasehat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita karena jika mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (Riwayat Abu Dawud).
Ini merupakan riwayat yang shahih dan bertutur tentang apa yang seharusnya kita perhatikan saat menikah sekaligus menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak pernah berlebihan dalam memberikan mahar. Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baaz rahimahullah berkata bahwa mahar yang diberikan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melebihi 500 dirham. Berapakah nilainya 500 dirham itu? Ukurlah nilainya saat itu di sana (catat: di sana!), lalu takarlah menurut ukuran sekarang di sana. Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baaz menunjukkan dalam Fatwa-Fatwa Terkini terbitan Pustaka Darul Haq bahwa 500 dirham setara dengan lebih kurang 130 riyal. Jika dirupiahkan, lebih kurang sama dengan Rp 325.000,-.
Nah.
Maka, apakah yang menghalangi kita untuk meringankan mahar jika ini menjadi jalan kebaikan? Bukankah kita menyimak dalam sejarah dan membaca dalam riwayat bagaimana Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kepada kaum muslimin untuk memudahkan mahar. Ketika seorang laki-laki tak sanggup memberikan mahar dalam bentuk harta berharga, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallambahkan bersabda, “Carilah sekalipun cincin yang terbuat dari besi" (HR. Bukhari).
Dan ketika cincin yang terbuat dari besi pun tak dapat ditemukan oleh lelaki itu, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam menikahkan dengan mahar berupa bacaan beberapa ayat Al-Qur’an.
Semoga Allah Ta’ala limpahkan barakah kepadamu dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla kumpulkan kebaikan engkau berdua dalam kebaikan, lalu menghimpunkan engkau bersama orangtua dan keturunanmu di sebaik-baik tempat, yakni surga, bersebab kesungguhanmu untuk melaksanakan sunnah dan keridhaanmu menjalani pernikahan yang amat sederhana. Semoga pula Allah Ta’ala ringankan jalan menuju pernikahan, dekatkan jodoh dan menyegerakan datangnya saat untuk menikah.
Lalu, apa yang harus engkau lakukan jika jodoh tak kunjung datang meski ikhtiyar tak putus-putus engkau lakukan? Bersabarlah dan kemudian bersabarlah dengan sungguh-sungguh. Apa yang Allah Ta’ala takdirkan bagimu akan terjadi, sebagaimana telah tetapnya kematian atas kita. Tidak penting kapan kita mati, yang paling penting adalah bagaimana kita mati. Atas perkara jodoh, penuhilah segala yang menjadi asbab terjadinya pernikahan yang barakah. Jika Allah Ta’ala telah tetapkan bagimu jodoh di dunia, maka kesungguhanmu dalam menetapi apa yang seharusnya engkau lakukan, semoga menjadi asbab Allah Ta’ala limpahkan kebarakahan hidup dan kebarakahan pernikahan bagimu. Adapun jika Allah ‘Azza wa Jalla telah tetapkan tidak adanya kesempatan bagimu untuk menikah, maka kesungguhanmu dalam bersiap tetaplah merupakan kebaikan yang mulia.
Baguskanlah dirimu. Perbaiki akhlakmu. Dan janganlah engkau berputus asa dari rahmat Tuhanmu. Semoga kesungguhanmu membaguskan diri menjadi asbab untuk diperjumpakannya engkau dengan orang yang amat tinggi kemuliaan agama dan akhlaknya. Ingatlah ketika Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An-Nuur, 24: 26).
Renungkanlah!
Melapangkan Hati Sesudah Menikah
Menata niat dan membekali diri dengan ilmu sebelum menikah benar-benar perkara yang sangat penting. Tapi bukan berarti pernikahan menjadi akhir dari keharusan untuk senantiasa berbenah dan menjaga niat. Menata hati tak mengenal kata putus, sebab pada segumpal darah inilah baik dan buruknya diri kita ditentukan. Jika hari ini kita mampu zuhud dan qana’ah, bulan depan belum tentu jika kita tidak gigih menjaga hati. Terlebih ketika berduyun-duyun manusia menyeru kita untuk kaya dan meletakkan kemuliaan pada banyaknya harta. Di antara mereka ada yang merangkai dengan kisah-kisah yang seakan sunnah untuk menguatkan seruannya.
Letak masalahnya bukan pada kekayaan, tetapi pada orientasi kita. Jika kita telah mengalami perubahan orientasi dari akhirat kepada dunia, maka terjadi pula perubahan dalam berbagai aspek kehidupan kita, termasuk bagaimana kita memandang manusia maupun penampilan. Dari sini, banyak hal bisa terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar