Rabu, 31 Oktober 2012

Nazhar, Bukan Sekedar Ta'aruf (Salim A. Fillah)

Engkaulah itu minyak atar
Meskipun masih tersimpan
Dalam kuntum yang akan mekar
-Iqbal, Javid Namah-
“Seandainya kami bisa membelikan janggut untuk Qais dengan harta kami”, kata orang-orang Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.” Semua sifat dan jiwa kepemimpinan memang ada pada pemuda ini. Nasabnya juga terkemuka lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi. Janggut. Salah satu simbol kejantanan dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya. Wajahnya licin dan bersih.
Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya!
Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya.
Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orangtuanya!”
Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya.
Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya.
♥♥♥
Inilah salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang mulia itu. Pewarisan karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para anak. Seperti dari Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di belakang nama orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah satu hikmahnya adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi juga wataknya. Kalau kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian pula kurang lebih anaknya.
Itulah zaman di mana orangtua benar-benar dituakan oleh anaknya, dan mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.
Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq.
Dari sinilah saya berargumen pada sebuah seminar pernikahan yang membuat para pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi pernyataan, ”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata saya, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak ada asal dan contohnya dari Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum yang dipaksakan menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang  menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris sama dengan pacaran. Na’udzu billaahi min dzalik.”
Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah. Kata ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran dalam konteks yang umum.
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujuraat 13)
♥♥♥
Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai dengan hanya mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi penuh resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng, tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya memilih mengajukan pisah dari suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya, ”Paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.”
Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat calon suaminya itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu setelah akad diikatkan oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Dan harapan itu, karena ketidaksiapannya, karena ia belum pernah melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah melihat calon suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk menimbang. Ia punya waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan sesuatu yang menarik hati pada dirinya.”
Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah mendengar Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika Jabir hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat kepada wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk menikahi.
Al Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu, sahabat Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya, ”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih langgeng.”
Subhanallah, inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang lestari hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa puluh wanita yang pernah menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah melihat calon isterinya sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah Sang Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi.
Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita untuk nazhar. Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan sebuah ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan mendetailkan data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan mestarikan prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya..
Keluarkan Kucing dari Karungnya
jangan kau kira cinta datang
dari keakraban dan pendekatan yang tekun
cinta adalah putera dari kecocokan jiwa
dan jikalau itu tiada
cinta takkan pernah tercipta,
dalam hitungan tahun, bahkan millenia
-Kahlil Gibran-
Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah mengeluarkan kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung. Karena kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin menikah dengan kucing.
 Tapi nazhar itu cukuplah sedikit saja.
Adalah Malcolm Gladwell, wartawan The New Yorker yang setelah sukses dengan buku Tipping Point-nya, lalu berkelana penjuru Amerika untuk menulis dan merilis buku barunya, Blink: The Power of Thinking without Thinking. Buku tentang berfikir tanpa berfikir. Buku tentang dua detik pertama yang menentukan. Yang dengan pertimbangan dua detik itu, keputusan yang dihasilkan seringkali jauh lebih baik dari riset yang menjelimet. Dalam bukunya, Gladwell membentangkan puluhan riset yang kuat validitasnya dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk menjabarkan tesisnya.
Dua detik pertama mencerap dengan indera itu menentukan. Mahapenting.
Sejalan dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm Gladwell, Kazuo Murakami, ahli genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah bahwa para ilmuwan yang begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya hingga ke taraf ahli, acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar. Justru ilmuwan yang ‘tak banyak tahu’ seringkali menghasilkan dobrakan-dobrakan mengejutkan. Penemuan akbar.
“Mengapa terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku The Divine Message of The DNA. “Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada dasarnya buruk; tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat membuai kita untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.”
Padahal seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan otak kita untuk memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak bermakna menjadi menurun. Otak kita bingung menentukan prioritas. Fakta yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu banyak hal. Cukup mengetahui yang penting saja.
Begitu juga tentang calon isteri, calon suami, calon pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja.
Alkisah, seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal saja yang ia persyaratkan untuk calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya meminta yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon tak bias memasak?
“Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu jawabnya sambil menundukkan senyum.
“Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.”
Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan juga sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja banyak laundry.”
Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu sudah ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria. Ia berani mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta. Dua hal yang kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang berupaya selalu memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang berharga; seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan itu sangat berarti bagi visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya, siapa juga yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah seorang isteri, bukan kedua macam profesi itu.
Dan tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun mencoba memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba. Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon isterinya. Ia cukup mengetahui yang terpenting saja.
Dua detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik itulah ruh saling mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi dikenali, mereka akan bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara. Karena sesudah itu adalah saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda.
“Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah)
            Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali, tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat. Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh? Iman. Tentu saja. Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak menyatu.
”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran, ”Adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang malam dan siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah dia yang menjadi ratu penentu, di dua detik pertama nazhar kita.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan cinta para pejuang, yang terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi bahwa engkau mengetahui yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu.
kecocokan jiwa memang tak selalu sama rumusnya
ada dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan
ada panas dan dingin bertemu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan
ada hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan
tapi satu hal tetap sama
mereka cocok  karena bersama bertasbih memuji Allah
seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya

Selasa, 30 Oktober 2012

Lelaki Berparas Cahaya

TELAGA ITU LUAS,. Sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Di tepi telaga itu berdiri seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir rapi sepapak daun telinga. Dia menoleh dengan segenap tubuhnya, menghadap hadirin  dengan sepenuh dirinya. Dia memanggil-manggil. Seruannya merindu dan merdu. “Marhaban ayyuhal insaan! Silakan mendekat, silakan minum!”Senyumnya lebar, hingga otot di ujung matanya berkerut dan gigi putihnya tampak. Dari sela gigi itu terpancar cahaya. Mata hitamnya yang bercelak dan berbulu lentik mengerjap bahagia tiap kali menyambut pria dan wanita yang bersinar bekas-bekas wudhunya.Tapi diantara alisnya yang tebal dan nyaris bertaut itu, ada rona merah dan urat yang membiru tiap kali beberapa manusia dihalau dari telaganya. Dia akan diam sejenak. Wibawa dan ahlaqnya terasa semerbak. Lalu dia bicara penuh cinta, dengan mata berkaca-kaca. “Ya Rabbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”Air telaga itu menebar wangi yang lebih harum dari kasturi. Rasanya lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telaga itu, bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dengan itulah si lelaki itu memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka yang kegerahan. Wajahnya berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka jika dari telaganya ada yang dihalau pergi.Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Tapi ia tak terletak di dunia ini. Telaga itu Al-Kautsar. Lelaki itu Muhammad. Namanya terpuji di langit dan bumi. (S.A. Fillah)

Minggu, 28 Oktober 2012

Kecocokan Jiwa

kecocokan jiwa memang tak selalu sama rumusnya ada dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan ada panas dan dingin bertemu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan ada hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan tapi satu hal tetap sama mereka cocok  karena bersama bertasbih memuji Allah seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya Salim A. Fillah

Jumat, 19 Oktober 2012

Menikah untuk Muliakan Sunnah


Semoga Allah Ta’ala ampuni saya.

Baguskan niat dan perbaiki terus-menerus. Selama perjalanan menuju pernikahan, tidak ada bekal yang lebih penting untuk engkau persiapkan melebihi niat dan ‘ilmu. Keduanya saling berkait. Niat akan menentukan nilai dari pernikahan yang akan engkau jalani, bahkan dari pernikahan yang mungkin tidak sempat engkau jalani karena kematian datang lebih cepat daripada pernikahan. Tetapi niatmu yang lurus dan kesediaanmu untuk berbenah mempersiapkan diri menunaikan sunnah Nabi saw. berupa menikah, akan menentukan apa yang akan engkau dapatkan dari Tuhanmu, Allah ‘Azza wa Jalla yang tiada sekutu baginya. Dan tidaklah engkau dapat menata niat dan membaguskan tujuan dengan benar kecuali dengan memahami ilmunya. Ilmu juga sangat penting bagi keberlangsungan pernikahan. Sebaik apa pun niatmu dalam menikah, engkau memerlukan ilmu untuk memasukinya, menjalani dan merawatnya.

Maka, tidak ada yang lebih mendesak untuk aku pesankan kepadamu melebihi niat dan ‘ilmu. Semakin jauh mengarungi pernikahan serta semakin banyak belajar, semakin terasa pula betapa kurangnya bekal yang ada pada diri ini sebelum memasuki pernikahan. Tampaknya sepele, tapi niat amat sering terabaikan sehingga tidak tertata dengan baik. Sangat berbeda antara apa yang kita ucapkan dengan apa yang sungguh-sungguh mendasari dan menggerakkan kita untuk menikah.

Sesungguhnya, sebaik-baik perkataan adalah kalamuLlah, yakni Al-Qur’anul Karim. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Tidalah Muhammad saw. berbicara kecuali dengan bimbingan dan pengawasan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, Muhammad saw. adalah manusia yang terjaga (ma’shum) sehingga tak akan bertentangan antara perintah dengan tindakannya. Tak ada perintah Allah Ta’ala yang datang kepadanya kecuali beliau shallaLlahu ‘alahi wa sallam laksanakan dengan penuh kesungguhan.

Jika engkau mengingini pernikahan yang penuh barakah, maka ikuti petunjuk manusia yang paling baik petunjuknya, yakni Muhammad Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan apa yang mendatangkan barakah, apa pula yang menjadikan pernikahan sangat besar barakahnya. Mari kita ingat sabda Nabi saw., “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan)." (HR. Al-Hakim).

Perhatikan olehmu: yang paling mudah maharnya. Maka sederhanakanlah olehmu mahar. Perhatikan juga sabda Nabi saw. yang menjadi penegas betapa sederhananya mahar merupakan salah satu bentuk keutamaan. Sabda Nabi saw., “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (maharnya).”(HR. Abu Dawud).

Hadis ini menunjukkan dengan sangat jelas kepada kita tentang keutamaan meringankan mahar. Maka janganlah engkau memberat-beratkan diri dengan perkataan sebagian orang yang berkata bahwa Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam memberikan mahar kepada isterinya dalam jumlah yang amat fantastis. Sebuah tulisan di majalah Islam yang membuat saya merasa sangat sedih bahkan dengan berani berkata bahwa Nabi saw. memberikan mahar senilai 3 milyar rupiah. Ini adalah perkataan yang dapat menyebabkan fitah syubhat dan sekaligus fitnah syahwat; dua sebab kerusakan agama yang amat serius akibatnya bagi iman.

Bersebab halusinasi bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam memberikan mahar hingga milyaran rupiah nilainya, seorang akhwat bahkan bersungut-sungut menolak bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam adalah penggembala. Padahal riwayat yang menunjukkan setiap nabi pernah menjadi penggembala adalah shahih. Mereka demikian terpukau dengan ucapan sebagian manusia yang mengatakan bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai menjalankan bisnis di usia 8 tahun. Padahal inilah usia ketika Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berpindah pengasuhan dari kakeknya, Abdul Muthalib, kepada pamannya: Abu Thalib.

Kembali ke soal nikah. Ingatlah nasehat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita karena jika mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (Riwayat Abu Dawud).

Ini merupakan riwayat yang shahih dan bertutur tentang apa yang seharusnya kita perhatikan saat menikah sekaligus menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak pernah berlebihan dalam memberikan mahar. Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baaz rahimahullah berkata bahwa mahar yang diberikan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melebihi 500 dirham. Berapakah nilainya 500 dirham itu? Ukurlah nilainya saat itu di sana (catat: di sana!), lalu takarlah menurut ukuran sekarang di sana. Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baaz menunjukkan dalam Fatwa-Fatwa Terkini terbitan Pustaka Darul Haq bahwa 500 dirham setara dengan lebih kurang 130 riyal. Jika dirupiahkan, lebih kurang sama dengan Rp 325.000,-.

Nah.

Maka, apakah yang menghalangi kita untuk meringankan mahar jika ini menjadi jalan kebaikan? Bukankah kita menyimak dalam sejarah dan membaca dalam riwayat bagaimana Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kepada kaum muslimin untuk memudahkan mahar. Ketika seorang laki-laki tak sanggup memberikan mahar dalam bentuk harta berharga, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallambahkan bersabda, “Carilah sekalipun cincin yang terbuat dari besi" (HR. Bukhari).

Dan ketika cincin yang terbuat dari besi pun tak dapat ditemukan oleh lelaki itu, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam menikahkan dengan mahar berupa bacaan beberapa ayat Al-Qur’an.

Semoga Allah Ta’ala limpahkan barakah kepadamu dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla kumpulkan kebaikan engkau berdua dalam kebaikan, lalu menghimpunkan engkau bersama orangtua dan keturunanmu di sebaik-baik tempat, yakni surga, bersebab kesungguhanmu untuk melaksanakan sunnah dan keridhaanmu menjalani pernikahan yang amat sederhana. Semoga pula Allah Ta’ala ringankan jalan menuju pernikahan, dekatkan jodoh dan menyegerakan datangnya saat untuk menikah.

Lalu, apa yang harus engkau lakukan jika jodoh tak kunjung datang meski ikhtiyar tak putus-putus engkau lakukan? Bersabarlah dan kemudian bersabarlah dengan sungguh-sungguh. Apa yang Allah Ta’ala takdirkan bagimu akan terjadi, sebagaimana telah tetapnya kematian atas kita. Tidak penting kapan kita mati, yang paling penting adalah bagaimana kita mati. Atas perkara jodoh, penuhilah segala yang menjadi asbab terjadinya pernikahan yang barakah. Jika Allah Ta’ala telah tetapkan bagimu jodoh di dunia, maka kesungguhanmu dalam menetapi apa yang seharusnya engkau lakukan, semoga menjadi asbab Allah Ta’ala limpahkan kebarakahan hidup dan kebarakahan pernikahan bagimu. Adapun jika Allah ‘Azza wa Jalla telah tetapkan tidak adanya kesempatan bagimu untuk menikah, maka kesungguhanmu dalam bersiap tetaplah merupakan kebaikan yang mulia.

Baguskanlah dirimu. Perbaiki akhlakmu. Dan janganlah engkau berputus asa dari rahmat Tuhanmu. Semoga kesungguhanmu membaguskan diri menjadi asbab untuk diperjumpakannya engkau dengan orang yang amat tinggi kemuliaan agama dan akhlaknya. Ingatlah ketika Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An-Nuur, 24: 26).

Renungkanlah!


Melapangkan Hati Sesudah Menikah

Menata niat dan membekali diri dengan ilmu sebelum menikah benar-benar perkara yang sangat penting. Tapi bukan berarti pernikahan menjadi akhir dari keharusan untuk senantiasa berbenah dan menjaga niat. Menata hati tak mengenal kata putus, sebab pada segumpal darah inilah baik dan buruknya diri kita ditentukan. Jika hari ini kita mampu zuhud dan qana’ah, bulan depan belum tentu jika kita tidak gigih menjaga hati. Terlebih ketika berduyun-duyun manusia menyeru kita untuk kaya dan meletakkan kemuliaan pada banyaknya harta. Di antara mereka ada yang merangkai dengan kisah-kisah yang seakan sunnah untuk menguatkan seruannya.

Letak masalahnya bukan pada kekayaan, tetapi pada orientasi kita. Jika kita telah mengalami perubahan orientasi dari akhirat kepada dunia, maka terjadi pula perubahan dalam berbagai aspek kehidupan kita, termasuk bagaimana kita memandang manusia maupun penampilan. Dari sini, banyak hal bisa terjadi.

Menakar Barakah


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim


Apakah tidak pernah sakit menandakan hidup kita penuh barakah? Tidak. Fir'aun tak pernah sakit dan hidupnya amat jauh dari barakah. Lihatlah Nabi Ayyub 'alaihis salam, sakit justru jadi mahkota kemuliaan hidupnya karena dengan itu teruji ridha dan sabarnya terhadap segala ketentuan Allah Ta'ala.

Di penghujung hidupnya, Imam Syafi'i rahimahullah juga tak putus-putus sakitnya, tapi tak henti juga perjuangan dakwahnya. Imam Syafi'i tetap mengajarkan agama ini sepenuh kesungguhan, meski harus bersimbah-darah karena ambeien yang amat parah.

Apakah selalu berlimpahnya rezeki dan mengguritanya bisnis menandakan hidup penuh barakah? Tidak. Tengoklah Qarun. Amat berlimpah hartanya. Allah Ta'ala gambarkan berlimpahnya kekayaan Qarun dalam Al-Qur'an surat Al-Qashash. Kunci untuk menyimpan hartanya saja sangat berat. Sedemikian banyak kunci untuk menyimpan harta di gudang-gudangnya, sehingga orang-orang yang kuat tak sanggup memikulnya.

Tetapi, apakah harta berlimpah itu sebab hilangnya barakah? Tidak. 'Abdurrahman bin Auf radhiyallahu 'anhu sangat kaya dan ia jauhi tana'um. Terjatuhnya Qarun sehingga karunia menjadi laknat bersebab ia berbangga-bangga dengan hartanya, berbangga-bangga dengan kehebatan bisnisnya. Qarun banggakan kemampuan bisnisnya dan yakin bahwa kejayaan itu karena usahanya belaka. Maka, berhati-hatilah jika engkau mulai menepuk dada. Berhati-hatilah pula jika engkau merasa terpukau oleh majelis yang berbangga-bangga dengan warisan Qarun dan ajak bertawakal pada strategi.

Sungguh, berbangga-bangga telah menggelincirkan manusia dari yakin kepada Allah Ta'ala Yang Maha Perkasa kepada yakin kepada diri sendiri. Bersebab berbangga-bangga, dikabulkannya do'a pun dapat menjadikan ia terjauh dari barakah dan hidayah. Ia tetap yakin Allah Ta'ala yang memberi dan mengabulkan do'a,  tetapi ia meyakini bahwa strategi dan teknik berdo'a yang menjadikan Allah Ta'ala selalu mengabulkan. Tanpa sadar, ia bergeser dari tawakkal kepada Allah Ta'ala menjadi yakin bahwa dirinya penentu segala. Bahkan Allah Ta'ala. Na'udzubillah.

Jika do'amu SELALU, PASTI dan SEKETIKA dikabulkan, menangislah dan mintalah penjagaan iman dari Allah Ta'ala. Ingatlah Bal'am bin Baurah. Dan jangan berbangga-bangga dengan ampuhnya do'amu. Apalagi menganggap itu karena caramu berdo'a. Sungguh, Yang Maha Kuasa hanya Allah Ta'ala.

Berkenaan dengan Bal'am bin Baurah, renungilah sejenak Al-Qur'an surat Al-A'raaf ayat 175-176. Bacalah tafsirnya dan resapi secara jujur:

واتل عليهم نبأ الذي آتيناه آياتنا فانسلخ منها فأتبعه الشيطان فكان من الغاوين

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” QS. Al-A’raaf, 7: 175.


ولو شئنا لرفعناه بها ولكنه أخلد إلى الأرض واتبع هواه فمثله كمثل الكلب إن تحمل عليه يلهث أو تتركه يلهث ذلك مثل القوم الذين كذبوا بآياتنا فاقصص القصص لعلهم يتفكرون

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” QS. Al-A’raaf, 7: 176.


Baca juga olehmu ayat berikutnya dan renungi. Semoga Allah Ta'ala berikan hidayah & penjagaan iman kepada kita:

ساء مثلا القوم الذين كذبوا بآياتنا وأنفسهم كانوا يظلمون

“Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.” QS. Al-A’raaf, 7: 177.

Bal'am. Celakalah ia. Awalnya ia adalah orang yang lurus dan meluruskan. Tapi dunia telah menggelincirkan ia sejauh-jauhnya. Sepanjang yang saya pelajari, Bal'am bin Baurah tak pernah berhasil mengucapkan do'a keburukan kepada pasukan Nabi Musa 'alaihissalaam, bersebab lidahnya keseleo. Tapi kuatnya niat yang buruk telah cukup untuk melemparkan dia dari taat kepada maksiat terhadap Allah Ta'ala.

Maka, sungguh ini merupakan peringatan untuk kita semua tentang betapa pentingnya menata niat dan menjaga iman. Salah niat, amal shalih pun jadi api. Semoga tidaklah kita mati kecuali dalam keadaan benar-benar muslim; benar-benar ridha kepada Allah Ta'ala dan Allah pun ridha kepada kita. Kita memohon kepada-Nya:

ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." QS. Ali Imran, 3: 8.


يامقلب القلوب ثبت قلبي على دينك

“Wahai Yang Membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu." HR. At-Tirmidzi.

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

“Ya Allah Yang Mengarahkan Hati, arahkn hati kami untuk taat kepada-Mu."HR. Muslim.


يا أيتها النفس المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية فادخلي في عبادي وادخلي جنتي

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." QS. Al-Fajr, 89: 27-30.

Semoga Allah Ta’ala karuniakan kepada kita akhir kehidupan yang baik (husnul khatimah). Tidaklah kita mati kecuali dalam keadaan benar-benar muslim.

Kamis, 18 Oktober 2012

Filosofi Daun


Sewarna, hijau, kuning, atau merah, sederhana saja
Diam, namun terus bertumbuh dan menumbuhkan yang lain
Geraknya, sekedar membalas salam angin yang menyapa
Meranggas, demi pepohonan agar sentiasa tegar berdiri
Menyuplai energi, hingga batas kesanggupannya, hingga gugurlah ia
Bahkan kematiannya, mewujud sebagai unsur hara

Salam sapa bagi pepohonan dan dedaunannya, yang membuat jiwa seketika syahdu kala menatapnya

Sabtu, 13 Oktober 2012

Kata dan Cinta



Benar, cinta memang butuh pengungkapan lewat kata lebih dari apapun jua. 

Benar, karena sorot mata kita takkan sanggup menyampaikan gemuruhnya, yang tengah membadai di laut jiwa. 

Namun, pengungkapan cinta sepasang kekasih sebelum akad adalah dusta. Sehingga, ianya sering berujung kecewa. Pengungkapan cinta yang benar, hanya ada sesudah pernikahan terjadi. Dengan begitu, ianya akan menjadi sejati dan memberi ketentraman bagi jiwa...